Rabu, 08 April 2015

Membebaskan Dewi

Membebaskan Dewi

Keisha mengerutkan keningnya memandang hutan karet yang terbentang di hadapannya, dia benar-benar tidak menyangka bahwa tempat KKN-nya benar-benar terpencil. Hampir 40 kilometer dari pusat kota, perjalanan harus ditempuh dengan jalur darat, melewati hutan yang gelap dan jalanan yang jelek tidak beraspal, membuat tubuh mereka berguncang-guncang di perjalanan, di dua konvoi mobil yang mereka naiki. Mereka satu team ada bersepuluh, Keisha sendiri dari Fakultas Ekonomi sedang teman-temannya yang lain berasal dari fakultas yang berbeda-beda.

Sekarang sudah hampir dua bulan Keisha di sini, masa KKNnya sudah hampir habis. Perasaan lega dan puas bercampur aduk di benaknya. Setidaknya dia telah melakukan sesuatu. Penduduk sekarang tahu cara pengolahan sampah organik menjadi kompos, mereka juga telah melakukan daur ulang sampah menjadi sesuatu yang berguna.

Hanya satu yang masih mengganjal, penduduk sekitar sini masih kental aliran kleniknya, yang diwariskan turun temurun dari para tetua kepada penerusnya. Keisha masih sering melihat sesajen di bawah pohon-pohon besar ataupun di
perempatan jalan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dan ada satu lagi yang mengganggunya, penduduk desa kebanyakan baik dan ramah, mereka menganggap Keisha dan group KKNnya seperti keluarga sendiri, tetapi sayangnya.... ada bocah perempuan itu, bocah perempuan kecil berusia tujuh tahun yang dipasung di bagian belakang rumah kepala desa.

Keisha sangat sedih melihatnya. Kenapa pemasungan masih berlaku di sini? Kenapa memperlakukan manusia kecil itu layaknya hewan yang tak berguna? Ini sungguh tidak manusiawi, Ketika pertama kali mengetahui hal ini, Keisha sempat menemui kepala desa dan memprotes.

Kepala Desa hanya menatap Keisha dengan tegas,

"Anak itu, namanya Dewi. Dia dirasuki iblis.... dia ditemukan di atas mayat ibunya yang bersimbah darah, sambil memegang pisau. Kami menduga dia menusuk ibunya sendiri dengan pisau dan membunuhnya. Penduduk ketakutan padanya, dan karena tidak ada lagi keluarganya, penduduk menyerahkannya kepada saya dan meminta saya untuk memasungnya."
"Tetapi dia masih tujuh tahun! memangnya apa yang bisa dilakukan anak tujuh tahun? Lagipula kalian belum bisa membuktikan bahwa dia membunuh ibunya bukan? Bisa saja orang lain yang melakukannya lalu melemparkan dosanya kepada anak kecil yang tidak berdaya? Kalaupun dia membunuh ibunya, kalian tentu saja bisa menyerahkannya kepada yang berwajib biar dia mendapatkan perawatan yang baik bukannya malahan dipasung seperti ini! Ini sungguh tidak berperikemanusiaan! Saya tidak akan membiarkannya!"

Dan Keishapun bertindak, dia mengurus segalanya, menghubungi bagian-bagian terkait di kota untuk membantunya. Temannya di komisi perlindungan anak berjanji akan mengurus Dewi setibanya di kota dan kemudian mengevaluasi kondisi Dewi, kalau memang ada gangguan kejiwaan, Dewi akan mendapatkan perawatan yang terbaik.

Ketika masa KKNnya sudah hampir berakhir, Keisha menyampaikan kemauannya itu kepada kepala desa, semula kepala desa tidak setuju,
Jangan non Keisha, Tidak baik membawa Dewi ke kota, sudah saya bilang dia dirasuki iblis, dia bisa membunuh siapa saja, bukan hanya ibunya. Biarlah dia dipasung di desa ini, kami yang akan menjaga dan mengurusnya supaya tidak melukai orang lain...."

"Saya bisa menuntut anda karena perlakuan tidak baik kepada anak kecil." Keisha menatap kepala desa penuh tekad. Dalam benaknya membayang tentang Dewi, anak kecil itu, dipasung di belakang rumah kepala desa dalam ruangan seperti kandang, bau pesing menyengat di sana, dan pakaian anak itu begitu lusuhnya seolah tidak pernah mandi. Tidak ada yang berani mendekati anak itu, hanya pengurusnya yang melemparkan makanan dan air, itupun dari jauh. Dewi benar-benar diperlakukan seperti hewan. Hati Keisha miris melihat betapa Dewi sebenarnya adalah anak yang cantik, di usianya yang tujuh tahun seharusnya dia bermain dengan teman-temannya, bersekolah atau apapun itu, bukannya malah terpasung hanya karena kepercayaan klenik penduduk desa yang tidak beralasan.

Kepala desa itu menatap tekad Keisha yang menyala-nyala, bahunya melorot dan menyerah, Baiklah non Keisha, anda bisa membawa Dewi keluar dari desa ini, tapi kami semua tidak mau bertanggung jawab akan apapun yang mungkin dilakukan Dewi di luar sana."

"Sepakat." Keisha menyalami kepala desa dengan kepuasan luar biasa. Dia akan membawa Dewi pulang ke kota, besok dan menyelamatkan anak itu.

Ketika dia keluar dari ruang kepala desa, para penduduk rupanya sedang berkumpul di sana, mereka memandang Keisha dengan ketakutan dan ngeri.

"Itu orang yang akan melepaskan anak iblis itu ke kota!" seru salah seorang anak kecil sambil menunjuk-nunjuk Keisha. Para penduduk tampak ngeri, mereka semua berbisik-bisik penuh prasangka, tetapi Keisha tidak peduli, dia melangkah dengan gagah berani, menuju mess tempat groupnya tinggal.

David, pemimpin groupnya menyambutnya di sana dalam senyuman, mereka semua sedang mengemas barang-barangnya untuk kepulangan mereka besok pagi. "Apakah kau berhasil?" tanya David

Keisha menganggukkan kepalanya, "Tentu saja."

David mengelus kepala Keisha dengan lembut, "Hebat. Aku yakin bisa mengandalkanmu. Kita harus membebaskan anak perempuan itu dari perlakukan yang tidak manusiawi.'

Dada Keisha mengembang akan perasaan bangga. Ini jugalah salah satu alasan Keisha mati-matian memperjuangkan pembebasan Dewi, dia merasa sangat senang ketika David memujinya.

David... pipi Keisha bersemu merah, selama beberapa bulan di desa ini, mereka telah begitu dekat, dan Keisha yakin ada percik-percik asmara yang berkembang di sana...

"Ayo bereskan bajumu, besok pagi2 kita mandikan anak itu supaya cukup pantas di bawa ke kota." Diana yang tiba-tiba muncul, salah satu anggota group KKN mereka menepuk pundak Keisha dan tersenyum. Keisha menurut, dia mengemasi barang-barangnya bersama anak-anak lain, mereka semua tertawa dan bercanda, senang bahwa mereka akan pulang ke rumah setelah masa KKN yang menyenangkan ini.

***

Dewi ternyata cantik sekali, setelah Keisha dan teman-teman perempuannya memandikannya, kemudian memberinya baju ganti pinjaman dari Elisa, teman KKN Keisha yang bertubuh cukup mungil, perempuan kecil itu tampak normal dan cantik seperti anak kebanyakan.

Rok yang dikenakannya memang agak kedodoran, dan Keisha serta teman-temannya harus mengoleskan salep ke pergelangan tangan dan kaki Dewi yang lecet-lecet akibat dipasung terlalu lama. Mereka semua mendesah dan mengutuk perlakuan kejam penduduk desa kepada Dewi yang mungil ini.

Setelah semua siap, Keisha dan rombongannya membawa Dewi ke mobil. Semua penduduk tampaknya bersembunyi ketika tahu baha Dewi dilepaskan dari pasungannya, desa tampak lengang, bahkan tidak ada satupun orang ataupun anak-anak yang biasanya melewatkan hari di teras ataupun di jalanan, desa itu layaknya desa kosong tak berpenghuni.

Walaupun begitu, Keisha masih bisa melihat wajah-wajah ketakutan penuh ingin tahu mengintip dari jendela rumah ketika Keisha lewat bersama Dewi. Dalam hatinya Keisha mencibir, begitu dalamkah kepercayaan mereka akan klenik sehingga ketakutan dengan anak kecil yang lemah dan tidak berdaya ini? Sampai-sampai memasung anak tanpa dosa ini?

Hanya kepala desa yang berdiri di sana dan melepas mereka, dia melirik ke arah Dewi yang diam dengan pandangan kosong, lalu menatap takut-takut ke arah David,

"Kalian... eh... kalian tidak mengikatnya?"

Keisha langsung tersinggung, hendak menyemprot kepala desa itu, tetapi untunglah David menahan Keisha, dia bergumam duluan, Kami rasa dia tidak berbahaya pak." jawab David meyakinkan. Kepala desa itu mundur selangkah seolah takut terciprat tulah ketika Dewi lewat untuk memasuki mobil, dia ikut rombongan depan, duduk di sebelahku, sekali lagi Keisha mencibir melihat tingkah kepala desa itu.

***

Dua mobil rombongan team KKN itupun melaju meninggalkan desa terpencil itu. Semuanya mendesah lega antara penat dan bahagia karena sudah menyelesaikan tugas dan akan pulang untuk bertemu keluarga masing-masing. David menyetir dan tersenyum melihat Dewi yang setengah tertidur dalam pelukan lengan Keisha.

"Kasihan sekali dia ya." gumam David diikuti anggukan teman-teman yang lain yang ada di dalam mobil.

Keisha menghela napas panjang, melirik ke arah sosok mungil Dewi yang tertidur pulas dengan wajah polos. Hati Keisha ngeri membayangkan betapa kejamnya penderitaan yang harus dialami Dewi selama dalam pasungan. Yang penting kita sudah menyelamatkannya." gumam Keisha, mengelus lembut rambut panjang Dewi dengan penuh rasa sayang.

***

Karena sudah menjelang tengah malam dan perjalanan belumlah separuhnya, seluruh rombongan memutuskan untuk menginap di desa kecil yang mereka lalui. Beruntung, desa itu merupakan tempat wisata pemancingan dan permandian air panas, sehingga banyak penginapan tersedia. Lagipula ini bukan musim liburan sehingga banyak sekali kamar kosong karena tidak ada pengunjung yang datang.

Mereka memutuskan menyewa satu paviliun besar yang terdiri dari empat kamar. Di malam harinya bukannya tidur, malahan mereka berkumpul dan bercanda di ruang tengah paviliun, sambil bermain gitar dan menonton film di televisi. Selama itu, Dewi selalu ada di sebelah Keisha, dan mengekornya. Sampai kemudian Keisha melihat Dewi menguap berkali-kali. Aku akan mengantar Dewi tidur, kasihan dia sudah mengantuk." Keisha beranjak sambil bergumam kepada teman-temannya yang masih asyik menonton film dan mengobrol. Dia lalu mengehela Dewi ke sebuah kamar yang tersedia.

Dengan lembut dibaringkannya Dewi ke atas ranjang, dia sendiri duduk di kursi di samping ranjang, mengelus dahi anak perempuan kecil itu, dan menyanyikan nina bobo. Mata Dewi lama-kelamaan meredup, dan kemudian terpejam, tenggelam dalam tidur yang pulas.

Keisha sendiri merasa mengantuk dan lelah. Dia merebahkan kepalanya ke pinggir ranjang dan terlelap.

***

Keisha terbangun. Entah kenapa.

Sejenak mengernyit oleh suasana hening yang pekat. Tidak ada lagi suara tawa dan obrolan anak-anak, tidak ada lagi suara gitar yang dipetik dengan senandung yang ceria. Mungkin semua sudah tertidur pada akhirnya....

Keisha megerutkan keningnya ketika melihat betapa gelapnya kamar ini, juga bagian ruang tengah, semua gelap. Apakah mati lampu?

Ketika Keisha berdiri, dia semakin terkejut karena ranjang tempat Dewi tadinya berbaring kosong, kemana Dewi?

Tiba-tiba Keisha merasa cemas, takut Dewi keluar sendirian untuk ke kamar mandi, lalu tersesat. Semoga Dewi sedang tidur bersama salah satu teman perempuannya.

Keisha melangkah keluar kamar, ruang tamu yang terang benderang sekarang gelap pekat, dia memincingkan matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan gelap itu. Untunglah pengelihatan perempuan lebih bagus dari pria di saat gelap, dalam sekejap Keisha bisa melihat bayangan teman-temannya yang tertidur di ruang tamu. Mungkin mereka terlalu kelelahan sehingga tidak tidur di kamar, melainkan langsung tidur di ruang tamu. Empat teman perempuannya, Elisa, Diana, Nita dan Carla tampak tertidur sambil duduk di atas sofa besar di depan televisi. Sementara teman-teman lelakinya tertidur di lantai yang dilapisi karpet, bergelimpangan tak karuan , membuat Keisha geli, Dasar laki-laki! gumamnya dalam hati sambil mencari-cari sosok David di sana.

Keisha menemukan David, lelaki itu bergelung di dekat tembok, dengan senyum, Keisha mendekat, dia bisa pura-pura tidur di dekat David malam ini, besok pagi mereka pasti akan bangun berpelukan dan saling melempar senyum malu-malu. Keisha jadi melupakan tujuannya untuk mencari Dewi dan berpikir anak kecil itu pasti ada di salah satu kamar dan tertidur lagi, mungkin dia bangun untuk ke kamar kecil dan masuk ke kamar yang salah.

Ketika ada di dekat David, Keisha berjongkok untuk mencari posisi yang nyaman, tangannya menyentuh karpet dan dia mengernyitkan kening.

Basah....
Keisha mendekatkan cairan yang membasahi tangannya ketika menyentuh karpet itu ke hidungnya dan langsung mengernyit, aroma khas menyentuh hidungnya, aroma amis seperti karat dan besi itu.... Darah!

Keisha panik, dia menyentuh pundak David dan mengguncangnya untuk membangunkannya, tetapi David tidak bangun juga, dengan keras Keisha mencoba membalikkan tubuh David yang meringkuk menghadap tembok, dan dia terpana....

David terbaring dengan mata membelalak, tubuhnya lunglai, dan diperutnya...

ada luka menganga bersimbah darah yang membasahi seluruh bagian depan tubuhnya dan mengalir ke karpet. Keisha menjerit keras-keras di kegelapan, dia berlari ke arah teman-teman lainnya.

Semua teman laki-lakinya yang terbaring di lantai serupa dengan David, mereka terbaring mati dengan luka yang mengalirkan darah. Keisha berlari ke arah teman-temannya di sofa, dan dia menjerit lagi menemukan keadaan mereka tak kalah mengerikannya. Semuanya mati, semuanya terluka di bagian perut, luka yang masih mengucurkan darah segar... luka itu.. bekas tusukan pisau berkali-kali...darah mengucur di mana-mana membasahi sofa, membasahi karpet...

Keisha berlari ke arah pintu, panik ketika menemukan pintunya terkunci, dia menggedor-gedornya berteriak meminta tolong tetapi suasana di luar begitu senyap.

Kenapa tidak ada yang menolongnya??

Keisha menjerit-jerit sampai suaranya serak, berusaha membangunkan siapapun yang berada di dekat penginapan ini.

"Sttttt..."
Lalu suara itu terdengar, membuat Keisha menolehkan kepalanya dengan takut, dalam kegelapan, dia melihat sosok Dewi berdiri di sana. Ujung jarinya di taruh di depan bibirnya, sebagai isyarat agar Keisha diam... dan... di sebelah tangannya yang lain, teracung pisau besar yang berkilat-kilat terkena cahaya bulan yang menembus jendela.

Pisau itu berlumuran darah....

END

Ikhlas Dalam Penantian

Iklas Dalam Penantian

Setelah menunggu setengah hari akhirnya surat pengumuman kelulusan sampai juga, dan aku dinyatakan lulus, alhamdulillah nilainya memuaskan. Begitu pula sahabatku Astrid. Kami sangat bahagia, tidak sia-sia usaha giat dalam belajar akhirnya membuahkan hasil yang maksimum.

Meneruskan jenjang pendidikan ke Perguruan Tinggi adalah rencana kita. Dari berbagai banyak pertimbangan, akhirnya kita memilih UIN Yogyakarta. Setelah dinyatakan diterima, kami pun mencari tempat tinggal. Tiba-tiba teringat akan nasihat Ibu tercinta,
“Nduk, carilah ilmu sebanyak-banyaknya, tidak hanya ilmu duniawi saja, tetapi ilmu akhirat pun harus dicari dan diamalkan. Tujuan hidup kita adalah bahagia dunia akhirat. Jagalah diri kalian masing-masing dan hiduplah dilingkungan orang-orang yang sholeh, ibu hanya bisa mendoakan dari sini. Semoga kalian sukses dunia akhirat.” Di ucapkan dengan suara halusnya.

Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di sebuah pesantren yang letaknya tidak jauh dari kampus kami. Astrid adalah sahabat dekatku, sejak SD,SMP,SMA, bahkan sekarang di PT kami pun bersama. Suka duka kami rasakan bersama. Tetapi ada satu hal yang membedakan kami, yaitu masalah percintaan. Astrid jagonya dalam menggaet cowo manapun yang disukainya. Hampir tidak terhitung berapa banyak cowo yang di deketin. Beda halnya dengan aku, aku belum berani untuk bermain-main dengan hati. Entah aku tidak peduli dengan orang-orang yang menganggap aku tidak butuh seorang pendamping hidup. Yang aku pikirkan saat ini belajar dengan sungguh-sungguh.

***

Hari pertama masuk pesantren membuat aku terkejut dengan keadaan di pesantren, aku yang terbiasa hidup dalam keadaan rapi, suasana yang tenang, kini semua itu berbanding terbalik. Sungguh membuat aku ingin pingsan seketika. Barang-barang berserakan tidak jelas dimana tempat aslinya, disetiap sudut-sudut tembok terdapat tumpukan baju yang tidak rapi, entah itu baju bersih atau kotor, keadaan kamar mandi yang begitu menjijikan membuat aku tidak ingin memasukinya. Ya Allah inikah tempat yang di inginkan Ibu untuk aku tempati..?? sejenak aku menganggap Ibuku kejam, tega membiarkan anaknya hidup dalam keadaan seperti ini. Tetapi pikiran buruk itu aku buang jauh-jauh, karena aku yakin Ibuku ingin aku menjadi anak yang terbaik.
“Apa kamu yakin mau tinggal ditempat ini?” tanya Astrid kepada ku..
“Yakin..! kenapa tidak…..?” dengan tegas aku menjawabnya.

Mendengar jawabanku yang meyakinkan, Astrid pun ikut yakin untuk tinggal di pesantren ini. Kami berdua berjalan mencari kamar yang disediakan untuk kami. Tetapi belum ketemu-ketemu, karena tempatnya begitu luas. Tiba-tiba ada seorang santriwati menghampiri kami,
“Assalamu’alaikum ya ukhti..?”
“Wa’alaikumsalam.. ukhti..”
“Afwan, ukhti-ukhti ini santri baru ya?”
“Ia benar, perkenalkan saya Keyla dan ini teman saya Astrid, kami sedang mencari kamar yang disediakan untuk kami. Tetapi kami belum menemukannya..”
“Ohh..saya aminah, afwan ukhti ! sebaiknya ukhti soan ke ndalem dahulu.. nanti disana bertemu dengan Abah dan Umi. Nanti baru kami tunjukan kamar yang bisa ukhti tempati..”
“Soan ? Ndalem?” Astrid seketika terkejut.
“Ya ukh, soan itu seperti halnya orang bertamu, sedangkan ndalem itu tempat tinggalnya Kyai. Mari saya antar ke ndalem”

Aku dan Astrid saling menatap dan tersenyum bersama, dan akhirnya kami ikuti santriwati itu ke ndalem. Letaknya tidak terlalu jauh dari asramanya. Sesampainya di depan ndalem lalu santriwati itu mengetuk pintu, dan mengucapkan salam. Melihat sikap dan tingkah laku santriwati itu sangat sopan. Kami heran, di zaman Agnes Monica ternyata masih ada orang seperti Siti Nurbaya.
“Assalamu’alaikum…..??”
“Wa’alaikumsalam..” dari arah dalam Umi menjawab salamnya.
“Ngapunten Umi, niki wonten santri enggal bade soan.”
“Ya silahkan masuk, sebentar nunggu Abah ya.”
“Nggihh…” kami serentak menjawabnya.
Aku dan Astrid hanya diam dan tersenyum ketika mendengar percakapan diantara Bu nyai dan santrinya.

Abah pun keluar, dan kami duduk di ruang tamu bersama Umi dan Abah. Aku memulai pembicaraannya dengan sedikit deg-degan karena berhadapan dengan seorang Kyai.
“Maaf Abah Umi, kita dari Semarang. Perkenalkan nama saya Keyla Nur Istiqomah, dan ini teman saya Astrid Pangesti. Kami berniat untuk masuk ke pesantren ini”
“Ya kami ucapkan selamat datang. Yang terpenting ketika belajar dipesantren adalah sabar dan istiqomah, insya Allah bisa dan semoga ilmunya bermanfaat.”

Itulah sepenggal nasihat dari Abah. Setelah mendengar berbagai nasihat dan cerita dari Abah dan Umi, kami pun pamit dan menuju ke asrama. Tiba-tiba Umi menghentikan langkah kami.
“Sebentar mba Keyla, di ndalem ada kamar kosong, berhubung putri kami sekarang kuliah di Amerika. Ada baiknya jika kamarnya diisi mba Keyla dan mba Astrid. Bagaimana?”
Sejenak kami berdiam, dan serentak menyetujui tawaran Umi untuk tinggal di ndalem. Karena pertimbangan dari pada kamarnya kosong, sedangkan di asrama sepertinya penuh, jadi untuk sementara kami disuruh untuk menempatinya untuk menggantikan anak bungsunya yang sekarang kuliah di Amerika.
“Ternyata jika hati kita ikhlas menerimanya, maka kita diberikan yang terbaik untuk kita, buktinya kita menempati tempat yang nyaman dan bersih seperti ini.” Astrid hanya tersenyum mendengar ucapanku.
Kami mulai merapikan barang-barang kami. Dan tidak terasa waktu ashar pun tiba, kami siap-siap berangkat jam’ah dan memulai aktivitas mengaji. Diawal pertemuan kami pun memperkenalkan diri kami di depan banyak santri. Ternyata begitu banyak santrinya, ada yang masih kecil ada yang remaja dan ada yang dewasa. Jelas saja karena pesantren ini dibuka untuk umum.

***

3 tahun sudah aku dan Astrid menetap di pesantren. Kuliah pun berjalan dengan lancar. Kini aku masuk semester 7, itu artinya harus lebih giat dan serius untuk menggarap skripsi.

Tiba-tiba Astrid menepuk punggungku dengan tangannya ketika aku sedang duduk asik sambil baca buku.
“Key, kamu tau tidak, santri-santri sedang asik berbincang-bincang tentang apa?”
“Tidak, memang apa? Awas loh jangan nggosip lagi seperti kemarin-kemarin. Ntar kamu yang terjebak sendiri…!” aku mewanti-wanti sahabatku karena memang kupingnya diman-mana.
“Kata santri, bentar lagi putra Abah yang di kairo pulang.”
“Ah kata siapa kamu? memang Abah punya putra yang di kairo?”
“Yaah sahabatku yang satu ini ketinggalan berita. Abah memang punya putra yang kuliah di kairo, sudah 4 tahun belum pernah pulang. Denger-denger si ganteng. Heheeee..”
“Mulai deh kamu. Cowo mana aja kamu gebet…” Ledek ku pada Astrid.
“Biarin. Awas loh kalo kamu sampai naksir.”
“Astrid senyum-senyum sendiri, sepertinya dalam pikirannya membayangkan yang aneh-aneh.”
“Ketimbang kamu naksir sama orang yang belum jelas, siapa itu namanya? Zulfi ya. Hanya sekedar di dunia maya. Kalau cowo itu gentle, pasti dia sudah menemui kamu. Coba kamu pikir key, sudah 2 tahun lamanya kamu dekat dengan cowo, dan itu pun hanya dalam sebuah jejaring sosial Facebook. Sedangkan kamu belum tau wujud aslinya seperti apa, keluarganya bagaimana. Kapan kamu bertemu? “Dan yang aneh lagi kenapa kamu bisa suka dan mempertahankan dia. Padahal cowo-cowo yang ada di sekitar kita banyak yang ngantri buat ndapetin kamu. Tapi sayang tidak ada yang kamu respon satupun. Kamu sadar gak sih key….???” Dengan panjang lebar Astrid berusaha menyadarkanku.
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa mempunyai keyakinan dengan Zulfi. Meskipun hanya di dunia maya. Aku nyaman, aku tenang, aku baru merasakan perasaan seperti ini. Kamu tahu aku belum pernah berpengalaman dekat sama laki-laki. Mungkin ini kuasa Allah. Belum saatnya untuk bertemu dengannya. Aku terus berharap suatu saat nanti aku bisa bertemu dengannya.”
“Mau sampai kapan key?? “
“Aku hanya bisa sabar, dan menanti takdir Allah. Sudah lah kamu tidak perlu pusing memikirkan aku ya. Aku punya sahabat sepertimu saja sudah merasa bahagia, dan cukup untuk menjadi teman keluh kesah, canda tawa. Aku sayang kamu Astrid…..”sambil memeluknya aku teteskan air mata dipipiku.
“Aku juga sayang kamu key, kamu sahabat terbaik ku. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Jika memang menanti laki-laki itu membuat kamu bahagia, akupun ikut bahagia. Sudah ya jangan nangis lagi. Ayo dong senyum.” diusaplah airmata dipipiku olehnya. Dan setelah itu kami tersenyum bahagia.

***

Ternyata benar apa yang dikatakan Astrid 1 minggu yang lalu. Putra Abah pulang.
“Astrid !!! benar apa yang kamu katakan 1 minggu yang lalu, putra Abah pulang, nanti sore insya Allah sampai di rumah. Tadi pagi Umi bilang padaku kalau putranya pulang dan diperkirakan sampai rumah nanti sore. Jadi kita disuruh nyiapin makanan untuk nanti sore.”
“Asiiik, akhirnya aku ketemu cowo ganteng. Hhehe..”Astrid kegirangan.

Terdengar suara mobil didepan. Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi berkulit putih dengan wajah yang menenangkan jika dipandang, dan senyuman yang sangat manis turun dari mobil, dan mencium tangan Abah dan Umi. Apakah dia putranya yang digemari banyak santriwati.? Aku dan Astrid mengintip dari jendela.
“Waahhh gantengnya,, lihat key.!! Memang benar-benar ganteng ya.,” Astrid memujinya.
Abah Umi dan putranya duduk bersama di ruang tamu, terlihat sangat bahagia karena putranya yang dibanggakan akhirnya pulang dengan selamat. Karena sekitar 4 tahun mereka tidak bertemu, dan akhirnya rasa kangen yang terobati dengan kembali berkumpul.

Aku dan Astrid mengantarkan minuman keruang tamu. Aku hanya bisa menundukan kepalaku, karena rasa malu yang luar biasa, dan jantung yang berdetak begitu kencang membuat aku nerves ketika mengantarkan minuman. Astrid ada di depanku membawa makanan ringan.
“Terimakasih, ini santri-santri yang tinggal di sini.” Ucap Umi memperkenalkan kami pada putranya.
Setelah selesai menyuguhkan makanan dan minuman, kami pun kembali ke kamar. Astrid senyum-senyum terus karena merasa senang bertemu dengan laki-laki ganteng.
“Ganteng banget key, aku benar-benar menyukainya. Aku memimpikan punya pendamping hidup seperti dia key. Bagaimana menurutmu key?”
“Apa dia mau sama kamu,, hehe” nadaku bercanda.
“Ah kamu, sahabat lagi bahagia palah di ledekin, gak asiik ah.,” kesal Astrid padaku.
“Sudah-sudah yuk belajar, besok ujian kan..” ajaku pada Astrid.

***

Sebelum aku baringkan tubuhku diatas ranjang, tiba-tiba aku ingin membuka Facebook, barangkali ada pesan dari Zulfi, laki-laki yang selama ini ada di hatiku. Dan ternyata benar dia kirim pesan.
“Keyla, aku sekarang sudah di indonesia, 2 hari yang lalu aku sampai dirumah. Bagaimana keadaanmu, baik-baik saja kan? Aku ingin bertemu. Aku tunggu besok ba’da dhuhur di masjid Ar-Rahman dekat pesantren kamu. Aku harap kamu bisa datang. Aku ingin perkenalkan kamu pada orang tuaku.”

Aku kaget, senang, takut, campur aduk gak jelas. Entah apa yang akan aku lakukan. Sampai malam pun aku tidak bisa tidur karena teringat pesan itu. Dan akhirnya aku ambil air wudhu dan shalat tahajud.
“Ya Allah Dzat yang Maha membolak mbalikan hati,
Aku serahkan semua urusanku padaMU
Berikanlah yang terbaik untukku ya Rabb
Jika memang laki-laki yang aku nanti adalah jodohku
Maka berikanlah kesabaran dalam penantianku
Dan jika laki-laki yang aku nanti bukan untukku
Maka balikanlah hati ini, dan berikanlah rasa ikhlas”
Setelah selesai bermunajat hati dan pikiranku mulai tenang.
Waktu dhuhur telah tiba, kini saatnya aku siap-siap untuk menemui Zulfi ditempat yang di janjikan. Astrid tidak mengetahui pertemuanku dengan Zulfi, karena aku takut dia marah-marah pada zulfi yang telah menggantungkan perasaanku selama 2 tahun. aku datang menemui Zulfi sendirian.

Ketika aku sampai di masjid, aku terkejut seketika. Di dalam masjid ada Abah, Umi, putranya dan ternyata Astrid juga ada dan beberapa santri. Aku bingung kenapa mereka semua berkumpul disini, apa mereka tahu kalau aku mau menemui laki-laki yang aku nanti? Lalu aku berjalan mendekati mereka.
“Keyla, sini mendekat.” Ucap Umi memanggilku untuk mendekat.
“Apa kamu mencari sosok laki-laki yang menjajikan akan menemuimu di masjid ini?”
“Benar Umi..”
“Ini laki-laki yang selama ini kamu nanti, anak Umi, namanya Ahmad Zulfikar. Umi sudah mendengar banyak cerita dari Astrid. Kesetiaanmu menunggu pasangan hidupmu kini sudah terjawab. Umi bangga kepadamu. Kamu begitu sabar menantinya. Ahmad juga sering cerita sama Umi lewat telfon kalau dia mengagumi seorang perempuan. Dan tidak disangka kalau ternyata perempuan itu akan nyantri dipesantren ini. Makanya untuk mengenal lebih dekat kami tempatkan kalian di ndalem” Umi menceritakan kejadian sebenarnya.
Aku semakin bingung dengan keadaan ini semua. Ingin rasanya lari meninggalkan masjid ini, tapi sulit bagiku. Aku pun hanya terdiam dalam wajah kebingungan.

Zulfi pun angkat bicara,
“Aku lah Zulfi Key, mau kah kamu menyempurnakan separuh agamaku??”

Detak jantungku semakin kencang, mulut tidak bisa berucap sekatapun. Hanya kedua mataku yang langsung mengarah ke Astrid sahabatku. Karena aku tau kalau dia mengharapkan untuk menjadi pendamping Gus Ahmad. Astrid mendekatiku,
“Tenang sayang, aku hanya mengaguminya, dia untukmu. Aku bahagia akhirnya laki-laki yang kamu nanti sudah jelas wujudnya sekarang. Dan dia melamarmu key. Ayo ini saatnya kamu ungkapkan perasaanmu yang sudah lama kamu pendam key”
“Bagaiman key,” tanya Zulfi.,
“a..a…a.kuu terima…” jawabku gemetar.
“Alkhamdulillah…” serentak orang yang ada didalam masjid. Kini aku merasakan suasana yang selalu bahagia mengiringi langkahku untuk melewati hari demi hari.
Seusai wisuda, Zulfi, yang sekarang aku panggil Gus Zulfi, karena dia putra Kyai, datang kerumah dan segera diselenggarakan acara Ijab Qobul.
Mungkin ini yang dinamakan barokahnya berbakti kepada orang tua, yang pada akhirnya aku hidup di pesantren, sehingga aku bisa bertemu dengan cinta sejatiku. Dan keikhlasan dalam menanti akhirnya berbuah manis.

***
Selesai

Selasa, 07 April 2015

Skenario cinta-Nya untuk Aisyah

Skenario Cinta-Nya Untuk Aisyah

Cahaya lampu masih menerangi salah satu ruangan disebuah rumah sederhana ini. Sedang ruangan yang lainnya sudah tampak gelap karena penghuninya telah tertidur. Di ruangan yang tidak terlalu besar ini aku dan Zhafira tengah membongkar sebuah kardus yang berukuran cukup besar. Isinya adalah kiriman pakaian yang masih baru. Baju, rok, dan kerudung untuk berbagai usia. Semua pakaian ini bukan untuk dijual tetapi ini adalah kiriman dari seorang dermawan untuk anak-anak yang tinggal di rumah singgah.

Aku dan Zhafira kini baru saja lulus kuliah dari salah satu universitas islam negeri di Kota Bandung. Ini bukan rumah kami berdua, melainkan sebuah rumah singgah yang kami rintis setelah kami lulus SMA. Kami terlahir dari keluarga yang cukup mampu, walaupun begitu, semua kebutuhan di rumah singgah ini bukan dari orangtua kami. Kami mau menerima pemberian dari orangtua kami, asalkan statusnya sebagai donator rumah singgah, yang harus memenuhi persyaratan donator yang telah kami buat. Kami juga sudah memiliki beberapa donator tetap yang berasal dari perorangan atau instansi sekitar. Donasi dari donator kami gunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumah singgah dan biaya sekolah anak-anak.

Rumah singgah yang kami beri nama Lathifah ini berarti wanita yang lembut dan baik. Karena penghuni rumah singgah ini seluruhnya adalah wanita. Dari mulai anak-anak sampai remaja. Ya, rumah singgah ini tidak terlalu besar bahkan baru tercatat secara legal sejak enam bulan yang lalu. Kurang lebih usia rumah singgah baru 2 tahun lebih 3 bulan. Kini dihuni oleh 15 orang anak wanita. Yang paling besar ada dua anak yang sekarang duduk di bangku kelas dua SMA. Enam orang duduk di bangku SMP, empat orang duduk di bangku SD dan tiga orang sisanya belum sekolah. Aku yang memimpin rumah singgah saat ini, karena dari awal aku membangun rumah singgah ini sendirian. Saat itu masih ada lima orang anak yang aku bina, statusnya pun bukan rumah singgah seperti sekarang. Dulu tempatnya masih di rumah orangtuaku.

Rumah singgah ini mempunyai lima orang pengurus, dua diantaranya adalah Aku dan Zhafira. Aku sebagai pemimpin sekaligus yang mengajarkan mengaji Al-Qur’an dan materi TPA pada umumnya. Zhafira sebagai orang yang mengelola administrasi dan mengajarkan bahasa arab. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Mba Yanti yang berusia 30 tahun dan sudah memiliki satu orang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ada juga Mba Dina yang datang dari keluarga sederhana dan masih seumuran denganku. Mba Yanti dan Mba Dina adalah orang yang setia mengurus anak-anak selama di rumah singgah. Satu lagi adalah Pak Asep, beliau tidak menginap disini karena beliau sudah memiliki keluarga. Pak Asep suka bantu-bantu disini, kadang kalau kami mau berpergian Pak Asep yang mengendarai mobil. Aku dan Fira datang ke rumah singgah setelah pulang kerja, hari sabtu dan ahad kami baru bisa seharian ada disini.
“Udah jam sebelas lebih Aisyah. Besok kita lanjut lagi misahin baju buat anak-anaknya. Besok kan hari ahad jadi ga ke kantor”. Aku menengok ke arah jam dinding yang dipasang sebelah kanan tepat dari posisiku saat itu. “Tapi tanggung Fir”, jawabku yang saat itu masih memisahkan baju untuk anak-anak. “Nanti kesiangan bangun qiyamul lail loh. Kalo kita kesiangan ga ada yang bangunin anak-anak buat sholat malam”, Fira mengajakku untuk segera tidur. “Lima menit lagi ya Fir, kamu kalo mau tidur duluan aja, nanti aku nyusul”, jawabku lagi. “Ya udah aku duluan tidur ya. Awas jangan terlalu malem”. Fira meninggalkanku sendirian saat itu, lima belas menit kemudian aku pun segera tidur.
****

Roti isi coklat, lontong isi sayur, dan susu putih menjadi sarapan kami pagi ini. Kami berkumpul di ruang tengah di atas karpet coklat yang cukup besar. Kami memang tidak mempunyai meja makan besar yang cukup untuk menampung seluruh penghuni rumah singgah. Setiap kali makan ya lesehan seperti ini, tapi ini samasekali tidak mengurangi hangatnya sebuah keluarga bersama anak-anak yang sholehah.
Segelas susu tumpah karena tidak sengaja tertendang oleh kaki Kania yang saat itu sedang bermain dengan Ami dan Salwa. Tiga orang anak kecil yang belum sekolah ini memang selalu meramaikan suasana.
“Hah Kania, tuh kan tumpah, kena baju aku jadinya, mangkanya diem jangan lari-lari”, kata Icha, salah satu penghuni rumah singgah kelas 4 SD ini memang cukup sensitif orangnya. “Kania, Ami, Salwa, sini sayang nanti gelas yang lainnya ketendang juga. Sini Kak Aisyah punya permen nih”, aku mencoba merayu mereka. Mereka mendekatiku dan aku ajak mereka ke teras depan rumah. Suara motor berhenti di depan rumah singgah, aku mengenali motornya, itu motor Handika dan Umam teman kampusku waktu itu, karena mereka adalah orang yang lumayan sering datang kesini untuk berbagi dengan anak-anak. Apapun mereka bawa dari mulai makanan, pakaian, buku, atau mainan. Ami dan Salwa sangat mengenali Dika dan Umam. Segera mereka berlari menghampiri mereka berdua. “Adik Kak Aisyah yang sholehah, sini dulu, Kak Dika sama Kak Umam nya baru dateng, motornya mau di masukin ke halaman dulu”, teriakku saat itu. Mereka tidak memperdulikan suaraku. Setelah menyimpan motornya, Dika dan Umam langsung menggendong Ami dan Salwa.

Aku langsung menyuruh mereka masuk ke dalam, beberapa anak yang memang dekat dengan Dika dan Umam langsung menuju ruang tamu. “Kakak sama Kak Dika bawa buku-buku cerita nih”, sambil mengeluarkan beberapa buku dari tasnya. “Pasti bukunya buat anak-anak aja. Mana yang katanya mau beliin Vika novel?”, celetuk Vika saat itu. Vika dan Farah adalah anak kelas dua SMA, anak yang paling besar diantara anak-anak lain di rumah singgah. Tapi sifat Vika sangat jauh berbeda dengan Farah, padahal usianya sama. Farah jauh lebih dewasa dan sangat memahami nilai-nilai agama. Sedangkan Vika masih sedikit kekanak-kanakan dan ceplas ceplos bicaranya. Vika juga sangat mengagumi Umam. “Hush Vika, ga boleh gitu, ga malu sama ade-adenya”, sahut Farah. “Ga apa-apa Farah, kita bawa kok novel pesenan Vika”, Umam mencoba mencairkan suasana. “Tuh kan Rah, aku dibeliin novelnya”, “Dasar Vika, Vika”, Farah langsung menuju ruang tengah dan melanjutkan membaca majalah yang tadi sedang ia baca.

Anak-anak sibuk memilih buku-buku yang dibawa Dika dan Umam, sebagian lagi di ruang tengah dan sibuk membantu Mba Yanti dan Mba Dina dibelakang untuk memasak dan mencuci. Fira setelah sholat subuh tadi pulang ke rumah dulu, katanya mau ngambil baju dan perlengkapan lain untuk ke kantor besok. Tidak enak kalau hanya ada anak-anak kecil, Dika, Umam dan aku wanita sendirian yang sudah dewasa disini, tidak ditemani muhrim yang lain. “Fira kemana Syah?”, tanya Dika padaku. Ada perasaan yang berbeda padaku saat Dika menanyakan Fira. “Tadi subuh pulang dulu ke rumahnya, katanya mau ngambil baju dan perlengkapan lain untuk ke kantor besok”, dengan tegas dan sambil tidak menatap wajah Dika aku menjawabnya. Kami mengenal adanya hijab atau batasan antara wanita dan laki-laki dalam agama kami. Saat aku berbicara tidak menatap pun mereka berdua sudah terbiasa, karena mereka juga mengerti. Saat di kampus, antara wanita dan laki-laki sangat terjaga pergaulannya, karena itu yang agama kami ajarkan kepada kami. “Kira-kira balik lagi kesini jam berapa ya Syah? Saya mau mengambil buku yang dipinjam Fira waktu itu”, “Kurang tau juga, coba di sms saja. Hemm, Dika Umam, saya tinggal dulu”, kurang enak kalau aku berlama-lama disitu. Sambil menuju dapur aku masih tanda tanya besar dengan perasaanku. Ada sesuatu yang berbeda saat aku berbicara dengan Dika. Atau mungkin aku, ya sudah lah tidak perlu dipikirkan juga. Istighfar Aisyah, istighfar.

Aku membawakan dua gelas teh manis untuk Dika dan Umam. Pukul 11 siang Fira kembali ke rumah singgah. “Assalamu’alaikum. Ada tamu rupanya, sudah lama menunggu ya?”. Ya, sepertinya Fira sudah buat janji dengan Dika, karena Fira berbicara seperti itu. Umam terlihat asyik bermain dengan Ami dan Salwa. Fira dan Dika kini asyik berdiskusi, tidak tau membicaraka apa. Saat di kampus mereka satu kelas, belum lagi orangtua mereka yang sudah bersahabat sejak lama. Jadi saat mereka masih kecil, mereka sudah sering bertemu. Fira sering cerita tentang masa lalunya. Perasaanku semakin tidak karuan, aku terus beristighfar karena aku bingung apa yang terjadi pada hatiku saat ini. Aku meninggalkan mereka dan menuju ruang tengah. Aku duduk disebuah kursi dan mengambil buku yang tersusun dilemari buku. Entah buku apa yang aku ambil, aku hanya membuka halaman demi halaman tanpa fokus membacanya. Sedangkan pikiranku memikirkan sesuatu. Apa mungkin aku menyukai Dika? Ah, itu ga mungkin, sebelum-sebelumnya aku biasa saja. Dika pasti menyukai Fira dan sebaliknya, pikirku. Ya, mereka sudah bersahabat sejak lama sedangkan aku mengenal Dika baru sejak di kampus dan di organisasi kampus.

Sekarang usiaku 23 tahun, walaupun masih terbilang muda kadang orangtuaku menanyakan kapan aku mau menggenapkan setengah dienku. Mereka bilang aku terlalu sibuk dengan berdakwah, mengurusi anak-anak dan rumah singgah, sehingga mereka merasa aku tidak pernah memikirkan tentang sesuatu yang sakral ini. Bukannya aku tidak memikirkan, tapi aku menyerahkan urusan itu pada Allah. Kalau sudah tiba waktunya, pasti nanti ada seseorang yang datang yang Allah kirimkan untukku.
Ya, tapi sekarang aku mulai berpikir juga tentang ini. Setengah tahun lagi usiaku genap 24 tahun. Kuliahku sudah selesai. Menjadi salah satu dari 20 besar mahasiswa-mahasiswi berprestasi terbaik sudah aku raih. Walaupun baru bekerja satu tahun, gajiku sudah cukup untuk seorang wanita. Mulai sekarang aku hanya berusaha memperbaiki diri untuk calon imamku nanti, entah kapan. Aku mau jadi wanita yang sholehah seperti Fatimah Az-Zahra, Siti Aisyah dan Siti Khadijah.
****

Usai sholat isya dan tilawah, aku jadi teringat Fira. Sudah tiga minggu ini Fira jarang sekali ke rumah singgah, aku merasa kesepian. Sms pun jarang di balas. Terakhir kesini hari sabtu lalu, itu pun hanya sebentar lalu pergi lagi. Mungkin Fira sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku mengambil handphone dan segera aku sampaikan rasa rinduku lewat sms. “Assalamu’alaikum. Ukhti cantik, lagi sibuk ya? Aku kangeeeeeen banget sama kamu Fir, apalagi sama bawelnya kamu. Anak-anak juga pada kangen sama kamu tuh, pingin belajar bahasa arab sama Kak Fira katanya. Ana uhibbu kifillah ukhti”, semoga sms ku kali ini dibalas sama Fira. Sepuluh menit kemudian handphoneku bordering, sms dari Fira. “Wa’alaikumsalam ukhti sholehah. Apalagi aku, kangennya banget banget sama kamu Syah. Udah tiga minggu ya aku menghilang, hehe. Afwan ya, ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Mungkin minggu depan aku baru bisa ke rumah singgah dan menyampaikan kabar bahagia. Salam sama anak-anak ya, Mba Dina, Mba Yanti dan Pak Asep juga. Uhibbu kifillah”, sms balasan dari Fira cukup mengobati kerinduanku. Aku jadi penasaran kabar bahagia apa yang mau Fira sampaikan. Rasanya ingin cepat-cepat minggu depan.

Malam ini aku cukup santai dan ingin membuka account facebook ku, sudah lama tidak di cek. Aku hanya buka twitter lewat handphone. Aku menyalakan laptop di ruang tengah, sambil menemani anak-anak belajar. “Mba Aisyah, mau dibuatkan teh manis?”, Mba Yanti menawarkan. “Hemmm, boleh Mba. Maaf ya jadi ngerepotin. Ditawarin yang enak sih, jadi ga mungkin ditolak”, jawabku sambil tersenyum. “Ga apa-apa sekalian, sebentar ya Mba”.

Seberapa lama kah aku tidak membuka account facebook ku? Terakhir aku update tiga minggu yang lalu, belum terlalu lama. Tapi banyak sekali permintaan teman dan pemberitahuan. Aku konfirmasi teman-teman yang aku kenal dan aku lihat semua pemberitahuan. Aku teralih pada sebuah catatan yang melintas di beranda facebook ku. Catatan Handika El Shirazy, judulnya hanya sebuah karakter tanda tanya. Tidak bermaksud apa-apa, aku pun membaca catatan itu. Ada dua orang yang ditandai di catatan itu, Umam dan Fira. Fira dan Dika? Aku tidak bisa berpikir dewasa saat mengetahui isi catatan itu. Hatiku tertunduk lesu, pikiranku seperti benang kusut yang tidak bisa diluruskan kembali, ternyata benar aku memang mencintai Dika. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Seharusnya aku sadar dari awal, Dika dan Fira itu sudah lama bersahabat.

Kalimat demi kalimat aku baca kembali, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Maha Besar Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan akal dan pikiran. Maha Penyayang Allah yang menganugerahkan perasaan cinta kepada setiap hati manusia. Hidup adalah sebuah skenario yang telah Allah tuliskan. Dari mulai berperang melawan sel-sel lain di dalam rahim seorang ibu, memasuki usia anak-anak, remaja dan kini dewasa. Sekolah, kuliah, bekerja, semua sudah dilewati dengan izinNya. Skenario ini akan kurang lengkap saat belum melewati salah satu sunnah rasulNya. Usia bukanlah sebuah penghalang saat kita akan melewati sunnah rasul ini, yang terpenting semua syarat mutlak telah terpenuhi. Mencari tulang rusuk yang tepat bukanlah hal yang mudah. Perlu perencanaan matang. Karena ini adalah sebuah tanggung jawab besar. Bisakah seorang anak adam membawa anak hawa beserta jundi-jundinya ke Syurga yang mulia, dan sebaliknya? Mungkin saat ini, Allah tengah menuntunku menuju ke jalan ini. Allah telah memberiku sebuah kunci untuk membuka sebuah lemari kaca yang berisi berlian yang tak ternilai harganya. Apakah berlian itu mau jika tanganku yang mengambilnya?”

Tidak salah lagi catatan itu pasti untuk Fira, sebentar lagi Dika akan menggenapkan setengah diennya bersama Fira. Ya, aku seharusnya mendukung dan berpikir dewasa. Dika orang yang sholeh dan bertanggung jawab, pantas mendapatkan seorang Zhafira yang pintar dan sholehah. Aku jadi teringat kabar bahagia yang akan Fira sampaikan, mungkin tentang ini. Dan hampir satu bulan Fira menghilang ternyata untuk mempersiapkan ini semua. Aku tidak menyadari, air mata jatuh ke pipiku dengan derasnya. Icha yang sepertinya daritadi memperhatikanku sekarang mendekat, “Kak Aisyah?”, tangan kecilnya mengusap air mataku. “Kak Aisyah kenapa?”, tanyanya heran. “Ga apa-apa sayang, Kak Aisyah lagi baca cerita di internet, ceritanya sedih banget, jadi Kak Aisyah nangis deh. Kak Aisyah ke kamar duluan ya”, aku berbohong pada Icha, anak kecil yang tidak bersalah. Vika dan Farah yang saat itu memperhatikanku juga, sepertinya mengetahui kalau aku tidak jujur pada Icha. Mereka sudah tumbuh dewasa, mereka pasti mengerti aku bukan sedang menangisi sebuah cerita. Entah mengapa, hari-hariku saat ini terasa tidak bersemangat. Mengerjakan apapun aku tidak pernah bisa fokus. Aku masih memikirkan tentang Dika dan Fira. Dika adalah orang yang pertama kali aku cintai karenaNya. Aku sangat tulus mencintainya. Seorang pun tidak tahu tentang perasaanku ini, kecuali Allah dan aku sendiri. Saat di kampus pernah melintas perasaan ini pada Dika, tapi karena banyak hal yang harus aku urusi saat itu, aku tidak terlalu memperdulikan perasaanku dan akhirnya terkikis begitu saja. Awalnya aku mengagumi Dika sebagai sosok yang bertanggung jawab dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sekarang, mengapa perasaan kagum itu terus tumbuh menjadi sebuah perasaan ingin memiliki? Aku wanita bodoh yang mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah mungkin bisa terjadi.

Sepulang dari kantor aku merasa sangat lelah dan tubuhku sedikit panas, aku langsung menuju kamar tanpa ku sapa satu per satu anak-anak yang ada di rumah singgah. Ternyata sudah ada Fira di kamar, ia menungguku sejak tadi sore. “Aisyah”, wajahnya berbinar bahagia ia langsung memelukku dengan eratnya. “Aku kangen banget sama kamu, hampir satu bulan kita ga ketemu”. Aku pun memeluknya dengan erat, “Sama Fir, aku juga kangen banget sama kamu”. Kami pun duduk di atas tempat tidur dan berbincang banyak, seperti sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Padahal hanya satu bulan saja kami tidak bertatap muka. Akhirnya perbincangan kami pun mengarah pada kabar bahagia yang waktu itu akan Fira sampaikan.
“Oh iya Fir, berita bahagia apa? Jadi penasaran nih”, aku memulainya.

Fira hanya tersenyum dan menggengam tanganku.
“Hemmm sepertinya aku akan mendahului kamu. Aku telah menemukan tulang rusuk yang selama ini dirahasiakan keberadaannya oleh Allah. Satu bulan lalu, seseorang datang ke orangtuaku. Orangtuaku merestuinya. Aku memang sudah lama juga menaruh hati padanya. Do’akan aku ya Syah, rencananya dua bulan lagi”.

Aku memeluk Fira dan lagi-lagi aku tidak sadar saat air mata mengalir di pipiku.
“Selamat ya Fir, akhirnya kamu menemukan tulang rusuk yang selama ini kamu cari. Aku pasti do’akan yang terbaik buat kamu”.

Fira melepaskan pelukannya.
“Makasih ya Syah. Aku do’akan juga kamu segera menyusul. Oh iya kamu juga mengenali siapa orangnya. Tapi kamu ga perlu tau sekarang”.
“Oh ya? Siapa ya aku jadi penasaran?”.
“Nanti kalau waktunya tepat aku pasti kasih tau. Kok kamu jadi nangis gitu sih, ga usah nangis gitu dong. Aku kan ga akan pergi kemana-mana lagi”.
“Aku nangis bahagia tau, aku terharu aja sahabatku sekarang sudah mau dibawa orang lain, nanti siapa yang ngurusin rumah singgah ini, kamu tega ya ninggalin aku sendirian”.
Aku sendiri pun bingung aku menangis karena apa. Karena berita bahagia ini? Atau karena hatiku yang belum bisa menerima semua ini.

****

Pagi ini kepalaku sangat berat. Aku tidak bisa bangun dari tempat tidurku. Fira yang saat itu akan siap-siap ke kantor segera menghampiriku saat melihat aku kesulitan untuk bangun. Disentuhnya kening dan leherku saat itu. “Astaghfirullah, badan kamu panas banget Syah. Kita ke dokter sekarang ya”. Aku tidak menjawab apapun, aku langsung dibawanya ke dalam mobil. Fira menghubungi orangtuaku dan menjemput ummi di rumah. Ternyata ummi sudah siap-siap di depan pintu pagar. “Pantes tadi malam ummi ga bisa tidur, ternyata kamu sakit Syah”, diperjalanan ummi terus memijit kepalaku, walaupun sudah besar begini ummi masih saja memperlakukan aku seperti anak kecilnya. “Iya nih ummi, Aisyah ga bilang kalo sakit. Tadi pagi tiba-tiba udah panas banget badannya, Fira jadi khawatir takutnya kenapa-kenapa”, Fira menyahut sambil mengendarai mobil. “Jadi ngerepotin nak Fira, ke kantornya jadi terlambat ya Fir?”, jawab ummi. “Ga apa-apa ko ummi, Fira udah izin telat”.

Aku masuk ke ruang pemeriksaan dengan ummi. Setelah mengantar ke rumah sakit, Fira langsung pergi ke kantornya. Ummi sudah menelepon Nuril untuk menjemput aku dan ummi nanti, adikku yang laki-laki yang saat ini sedang libur semester kuliah. Aku jadi merepotkan banyak orang. Ternyata aku hanya kecapean saja, darahku rendah dan maag ku kambuh karena akhir-akhir ini aku tidak teratur makan. Nuril sudah menunggu di depan rumah sakit, kami pun segera menaiki mobil. Kali ini aku pulang ke rumah, untuk beberapa hari ini sampai aku sembuh total baru aku akan kembali ke rumah singgah. Hari ini juga aku izin masuk kantor. Banyak pekerjaan yang aku tinggalkan rupanya.
Sudah empat hari aku diam dirumah, badanku sudah mulai segar kembali. Dari ruang tengah, terdengar suara orang yang mengetuk pintu rumah. “Nuril tolong bukain pintunya, ada tamu kayanya”. Nuril langsung membukakan pintunya, “Eh Kak Fira, Kak Dika, Ka Umam, hemmm sama Kania ya, ayo masuk”. Dika, Umam dan Nuril berbincang di ruang tamu, Fira dan Kania langsung menghampiriku di ruang tengah. “Gimana udah baikan Syah?”, tanya Fira padaku, “Alhamdulillah udah baikan Fir. Eh Kania, sini sayang, Kak Aisyah kangen banget sama anak-anak di rumah singgah”. “Dika sama Umam katanya mau jenguk kamu, nih mereka bawain makanan buat kamu Syah”. Fira memberikan dua kantung kresek berwarna putih, yang satu dari Dika dan yang satu dari Umam. Sudah hampir satu jam mereka ada disini, Fira harus kembali ke rumah singgah, Dika dan Umam juga punya urusan masing-masing. Dika dan Umam menuju ruang tengah untuk melihat keadanku sekaligus mau pamit pulang. “Aisyah, kita pamit pulang ya, syafakillah”, kata Umam saat itu. “Syafakillah Syah, udah ditunggu sama anak-anak tuh di rumah singgah. Afwan ganggu waktu istirahatnya. Kita pamit pulang dulu. Assalamu’alaikum”, ucapan Dika saat itu membuatku teringat pada rencana pernikahan Dika dan Fira dua bulan kedepan.

****

Di kantin tempat kerja Dika dan Umam. Mereka memperbincangkan sesuatu yang serius.
“Mam, afwan ya kalo akhir-akhir ini saya sering berkomunikasi dengan Fira”, Dika meminta maaf pada Umam.
“Ya silahkan aja, saya tau kalian berdua sudah bersahabat sejak kecil. Jadi pasti kalian sudah seperti kakak dan adik. Asal jangan kamu ambil Zhafira dari saya ya. Dua minggu lagi, jadi dag dig dug nih Dik”, jawab Umam.
“Santai aja bang, saya segera menyusul kamu dan Fira. Fira wanita baik, jaga dia baik-baik. Saya sudah anggap Fira seperti adik saya sendiri”, Dika menegaskan.
“Siap bang! Ngomong-ngomong, kapan mau menyerahkan proposal pada orangtua dan murabbi akhwat itu?”, Umam mengalihkan pembicaraannya.
“Mungkin setelah kamu dan Fira menikah. Saya harus memantapkan hati dan mencari tahu banyak informasi tentang akhwat itu. Salah satunya ya lewat Fira dan murabbinya. Murabbinya sudah saya hubungi. Kalau waktunya sudah tepat saya hubungi dia dan orangtuanya”, jawab Dika mantap.

****

Satu bulan lebih dua minggu berlalu, ini berarti dua minggu lagi mendekati hari H, pernikahan Dika dan Fira. Tapi sampai saat ini Fira belum mau memberitahu siapa calon imamnya kepadaku. Fira sibuk mempersiapkan pernikahannya dan jarang sekali datang ke rumah singgah. Handphoneku berdering, satu pesan masuk dari ummi Meyda, murabbiku. “Assalamu’alaikum wr wb. Ukhti, punya waktu sore ini? Ada hal yang harus disampaikan, ummi tunggu di mesjid dekat kantormu ya”.

Sore ini aku langsung menuju mesjid dekat kantorku, ummi Meyda sudah menungguku disana. Tanpa berbicara panjang, ummi langsung menyampaikan maksudnya ingin bertemu denganku. Katanya ada seseorang yang mengkhitbahku, yang ingin menjadikan aku istrinya. Aku sangat kaget, sedangkan hatiku belum bisa berpaling dari Dika, sosok laki-laki yang aku inginkan, yang sebentar lagi akan menikah dengan sahabatku Fira. Tapi kalau aku terus dihantui perasaan seperti ini malah akan menyakiti hatiku sendiri. Aku mulai ikhlas dan menerima semuanya. Aku mulai membuka hatiku untuk laki-laki yang akan mengkhitbahku sekarang. Pilihan murabbiku pasti yang terbaik untukku. “Aisyah, ikhwan yang datang pada ummi sepertinya sungguh-sungguh. Ummi mengenalnya sebagai ikhwan yang sholeh dan bertanggung jawab. Amalannya bagus, sikapnya baik, ummi rasa ikhwan ini baik untuk mu. Dia juga sudah mengenalmu, kamu juga mengenalnya”, papar ummi. “Memang ada yang mau mengkhitbahku ummi, laki-laki mana yang mau menjadikan aku istrinya?”, jawabku merendah. “Buktinya ada yang menghubungi ummi untuk mengkhitbahmu”, jelas ummi lagi. “Kalau boleh tau, siapa ummi orangnya? Supaya Aisyah mudah untuk menjalankan proses ta’aruf”. “Laki-laki itu teman kampusmu, namanya Handika El Shirazy”, jawab ummi.

Apa aku tidak salah dengar? Dika? Bukankah dia akan segera menikah dengan Fira? Apakah ini Dika yang lain? Tapi ini jelas-jelas Dika, laki-laki yang aku cintai. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Aku jadi semakin tidak mengerti. Aku terdiam tidak berbicara apapun, wajahku terlihat bingung saat itu. “Bagaimana Aisyah? Apa kamu akan menerimanya?”, tanya ummi. Aku terdiam lagi. “Aisyah?”, tanya ummi lagi. “Aisyah belum tau ummi, nanti Aisyah kabarkan lagi, beri Aisyah waktu tiga hari saja”. dengan ummi. Di perjalanan pulang aku seperti orang bodoh yang baru saja turun dari roller coaster. Banyak pertanyaan dikepalaku, jawabanku sekarang hanya satu, Fira. Saat itu juga aku langsung menuju rumah Fira. Pintu rumahnya terbuka, ada Fira sendirian di ruang tamu yang sedang menyusun undangan pernikahan. “Assalamu’alaikum”, “Wa’alaikumsalam, eh Aisyah sini masuk”, jawab Fira. Aku langsung mengambil salah satu undangan yang menumpuk di atas meja. Undangan Pernikahan, Umam Ramadhana & Zhafira Nur Kamilah.
“Umam?”, tanyaku kaget.
“Iya, tadinya aku mau ngasih tau nanti, tapi kamu udah keburu liat undangannya, jadi ketauan deh”, jawab Fira.
“Aku jadi ga ngerti sama semuanya. Bukannya kau mau nikah sama Dika kan?”.
“Dika? Jadi selama ini kamu kira laki-laki yang mau menikahiku Dika? Dia udah kaya abangku sendiri. Ga mungkin lah aku nikah sama dia, aku udah tau sifat konyolnya kaya gimana waktu kecil. Kayanya kamu emang udah harus tau yang sebenarnya Syah”, jawab Fira sambil tertawa.
“Kamu, Umam, Dika, Ummi Meyda, berhasil bikin aku kaya orang bodoh tau ga?”, kataku kesal.
“Afwan ya. Masa seorang Aisyah yang sholehah, calon hafizah yang tinggal lima juz itu kaya orang bodoh sih? Ga keliatan ko kaya orang bodohnya”, canda Fira.

Aku melempar Fira dengan bantal yang ada di kursi.
“Aduh Aisyah, jahat banget sih”, katanya masih tertawa.
Dengan perasaan yang lega, aku menceritakan tentang maksud Dika yang mau mengkhitbahku.
****

Hari yang sakral untuk Fira dan Umam tiba juga. Mereka kini resmi menjadi sepasang suami istri yang siap membentuk keluarga yang sakinah. Satu minggu setelah pernikahan mereka, Dika datang ke orangtuaku. Aku pun menerimanya. Tiga bulan menjalani proses ta’aruf, kami langsung mempererat ikatannya dengan ucapan janji suci.

Inilah skenario cinta-Nya yang telah dipersiapkan untukku. Kini aku bahagia hidup bersama seseorang yang aku cintai dengan tulus, begitupun sebaliknya, Dika mencintaiku dengan sangat tulus. Tak pernah terbesit sedikit pun dipikiranku kalau akhirnya akan indah seperti ini. Tentang catatan di facebook waktu itu, ternyata itu ditujukan untukku. Katanya sekarang berlian yang tak ternilai harganya itu sudah menjadi miliknya.

Cerpis

SURAT TERAKHIR UNTUK KAKAK

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”

Sejenak ku hentikan bacaanku, begitu makna Al-Baqarah ayat 216 aku pernah mendengarnya, rupanya orang mengutipnya dari sini, sebagai pengobat saat ku harus mengakui satu hal yang membuatku membenci keadaan ini.

Aku menutup Al-Qur’anku tanpa menyelesaikan sampai maqro, tanpa Shadaqallah untuk mengakhirinya. Rasanya lidahku tak bisa membaca kalam Illahi itu dengan benar, percuma tak ada lagi teguran saat aku salah melafalkan tajwid maupun makhraj. Semua tak lagi kudapat semenjak orang itu diam dan tak bergerak sama sekali.

Katanya aku terlalu dini untuk mengerti semua ini, usia 12 tahun terlalu kecil untuk memahami yang sedang terjadi. Orang dewasa mana yang mengerti perasaanku bahwa aku sangat takut.

“Mifa, udah ngajinya?” aku menengadah setelah membenamkan wajahku di samping orang yang saat ini masih tetap istiqomah dengan tidur panjangnya, aku menatap wanita yang berdiri dekat tempat dudukku, lalu kembali menatap orang itu yang wajahnya terhalang oleh ETT yang menerobos tenggorokannya, padahal jika tak ada alat itu ia begitu tampan.
“Makan dulu ya, Ayah nunggu di kantin, biar kakak bunda yang jaga” bujuknya sambil mengelus kepalaku yang terbalut kerudung biru tua, warna favorit kakak.
Aku mengangguk pelan dan meletakkan Al-Qur’anku di atas meja, berat kakiku meninggalkan ruangan itu, ruangan dingin yang seminggu ini menjadi rumah kedua kami.

***

Azam, begitulah orang memanggilnya, ia akan protes bila aku memanggilnya kazam, kak Azam, itulah maksudku.

Jika orang bercerita tentang pacarnya, ayah atau bundanya, maka aku ingin menceritakan tentang kakakku, kakak juara satu yang kumiliki, kakak terhebat yang kuteriakan namanya agar semua tau, tak ada yang kubanggakan selain dia.
“Kehidupan ini seperti ikhfa, samar. Nikmat yang Allah limpahkan itu seperti Idzhar, jelas”
“Jadi hukum nun mati bertemu fa itu apa? Ikhfa atau Idzhar?”
“Huruf Ikhfa ada berapa, lima belas” kak Azam belum kasih tau semuanya
“Kalau Idzhar, kakak udah kasih tau, kan, apa Fa termasuk di dalamnya?”
“Tidak”
“Nah, sekarang kau tentu tau jawabannya, satu lagi yang mesti dibiasakan, panggil kakak aja, ga usah pake nama ga sopan”

Baru setahun ini kak Azam mengajarku, yang saat itu aku baru menamatkan iqro enam, saat itu ia masih terlihat baik-baik saja meski tubuhnya terlihat semakin kurus, aku tak tau apa yang terjadi, setauku kak Azam pulang dari pesantren karena sudah selesai Tsanawiyyah dan akan melanjutkan ke Aliyyah di pesantren yang berbeda.

Awalnya aku mengiyakan, karena alasan cukup berlogika, namun hampir sebulan pasca tahun ajaran baru, kak Azam belum mengurusi pendaftaran ke Aliyyah manapun dan tak ada tanda akan kembali ke ponpes, aku mulai curiga, hingga akhirnya tau semua yang disembunyikan.
“Emang Mifa gak ingin ya, kakak tetap dirumah?” tanyanya saat aku bertanya kenapa belum kembali kepesantren
“Yee, nggak kak, malah Mifa seneng, kan kakak bisa ngajarin Mifa sampai khatam” jawabku sambil memperhatikan kak Azam yang sibuk dengan notebooknya.
“Mifa tau ga siapa yang menghidupkan kita” tanyanya.
“Allah..!” jawabku enteng.
“Kalau begitu, Allah juga yang mematikan kita, nah kalo urusan mati, mau kakak dulu atau Mifa dulu?”
Sejenak aku diam dan berfikir “Yang tua dulu dong kak, haha” candaku.
Kak Azam tertawa pelan “Kalo benar kakak mati duluan, Mifa jangan nangis ya, kan Mifa sendiri yang minta, hehe!”
“Yee pede, sayang tau air mata Mifa kalau hanya untuk nangisin kakak” celetukku, padahal aku begitu takut jauh darinya, jangankan untuk mati, waktu dia di pesantren saja, aku suka nangis sendiri ngangenin dia.

Tidak adakah kata yang lebih sederhana untuk mengganti nama penyakit kanker atau karsinoma nasofaring lebih tepatnya, sehingga musibah ini tak perlu seperti kisah novel atau sinetron, hingga tak membuatku berdiri di puncak ketakutan yang maha tinggi, tidak adakah pilihan lain, Yaa Allah..?

Bagiku kak Azam begitu istimewa, sehingga Engkau perintahkan sel-sel jahat itu bersarang di belakang rongga hidungnya, bahkan kini telah menyebar pada organ tubuh lainnya, dan dengan mudah Engkau mengambilnya dari sisi kami. Tidak adakah cara yang lebih halus untuk ia memenuhi panggilan-Mu Yaa Allah..?

Aku tak suka kakak ku melawan penyakit itu hingga ia menitikan air mata menahan sakit yang membabi buta ketika radioterapi menyebabkan beberapa komplikasi. Aku tidak suka wajah tampannya terenggut akibat pembengkakan pada leher hingga wajah, apalagi suara indahnya yang ikut terampas, suara indah yang hanya dia yang punya, yang mengantarnya menjadi Qori internasional 3 tahun lalu, suara indah yang kudengar ba’da magrib dan subuh di balik pintu itu.

Bagaimana bisa Yaa Allah, Kau buat orang sebaik dia menderita seperti itu bahkan masih bisa mengatakan apa yang ia terima adalah sesuatu yang baik.

“Bagi orang-orang beriman, segala keadaan tetap akan menjadi kebaikan, Rasulullah bersabda seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu menjadi baik baginya, jika ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan itu baik baginya, jika ia tertimpa kesusahan ia bersabar dan itu baik baginya” katanya saat aku menangis di samping pembaringannya, suaranya yang pelan dan parau membuat tangisku semakin hebat.

“Katanya Allah itu maha adil, tapi kenapa Dia memberikan penyakit itu pada kakak, kakak kan rajin sholat, puasa sunnat dan rajin baca Al-Qur’an juga bahkan hampir hafal semuanya, kenapa gak orang jahat aja yang punya penyakit itu?”
“Kakak juga rajin marahin kamu” ia tertawa pelan sambil mengelus rambutku yang tergerai, mata cekungnya yang mulai mengabur menatapku.
“Mifa rela dimarahin terus, asal kakak tetap bersama Mifa”.

Ia tersenyum merengkuhku hangat meski tubuhnya begitu dingin. “Allah sayang kakak, Mifa juga Bunda dan Ayah, Dia yang berkuasa atas hidup mati kita, terserah Dia mau apakan kita, tinggal kita menerima dengan ikhlas”

Ia sungguh dewasa, 3 tahun jauh dari Ayah Bunda membuatnya menjadi pribadi yang bijak, usianya 16 tahun tapi pemikirannya jauh dari anak-anak di atasnya.

“Mifa, kenapa makanannya dibiarkan begitu?” aku terhenyak menatap ayah yang sudah kembali dari sholat Isya, wajahnya mirip kak Azam, aku tau lelaki tua itu lebih takut kehilangan puteranya, tapi setidaknya ia sudah menghabiskan banyak waktu bersama kak Azam, sementara aku baru setahun bisa dekat dengannya, Ahh setidaknya Allah memberi kesempatan.
“Ayah tau ga, kenapa Mifa ga ingin ke pesantren seperti kak Azam” ayah diam menungguku menjawab sendiri pertanyaan itu.
“Karena Mifa ingin selalu bersama ayah bunda, tapi kak Azam mengajarkan satu hal, semakin jauh jarak anak dan orang tua, semakin dekat batin keduanya, lulus SD nanti Mifa ingin ke pesantren, yah..!”
Ayah mencium puncak kepalaku, aku menangis dalam pelukannya.

Aku, Ayah dan Bunda berdiri di samping kak Azam yang telah membuka mata, bahagia bukan buatan saat Bunda memberitahu bahwa kak Azam sudah sadar dari koma, ia tersenyum tipis padaku, ia sudah tak bisa bicara lagi penyakit itu telah merusak pita suaranya yang indah, yang dibanggakan semua orang saat suara itu menggemakan kalam-kalam Illahi.
“Kok aneh ya, suara kak Azam indah?”
“Karena nama kakak Azam, makanya suaranya sebening air zamzam, jadi jangan panggil kakak dengan nama jelek itu lagi..!” bangganya sambil melempar bantal ke arahku.
Aku cemberut “Mentang-mentang udah terkenal, aku do’ain suaranya jadi jelek kayak bebek”.
Tadinya aku hanya bercanda, tapi ternyata bagi Allah itu benar-benar do’a, aku sedih, menyesal seharusnya aku tidak bermain-main dengan lisanku.

“Apa kak, kakak ingin bicara apa?” tanya bunda melihat bibir kak Azam bergerak kecil.
Kak Azam menatapku lalu melirik al-Qur’an di atas meja. Aku tau maksudnya, segera aku meraihnya dan duduk di kursi hati-hati ku buka surah al-Mulk, surah favorit kak Azam yang seminggu ini kucoba hafalkan, aku ingin seperti dia yang hafal surah-surah selain juz ‘amma.

Aku memulai, ayah diam menyimak, bunda mendekap kak Azam yang menatapku serius. Keadaan sunyi, hanya suaraku yang menjadi pengiring malam ini. Mengundang seseorang masuk dan makin banyak yang mengikuti, aku tak tau siapa itu, kehadirannya menghangatkan ruangan ini, mereka menyaksikan adegan mengharu biru ini.

“ma..hh.a..sih” ujarnya sangat pelan begitu aku selesai membaca kalam Allah itu. Aku perhatikan wajahnya diguyur keringat dingin bercampur debit darah yang deras meluncur dari dalam hidungnya, sederas air mataku yang tanpa kusadar sudah berlompatan dari kelopak mataku, napasnya memberat dan tubuhnya melemas, ia kembali tidur, tapi bukan untuk bangun kembali.

Ibu menangis ketika ayah mengucapkan “Innalillahi wainnailaihiroji’un” kalimat itu bagai hantaman batu-batu ababil, tapi air mata ini tak bisa mengubah ketentuan-Mu Yaa Allah, aku pernah bilang tidak akan menangis jika dia Engkau panggil, tapi aku tak bisa melakukan itu.

“Tahukah kau, Mifa, saat kau baca kalam Illahi itu, para malaikat berjalan di belakang Izroil, membacakan doa buat kakakmu, menjemputnya menuju kebahagiaan yang sebenarnya, sungguh orang yang menganggap cobaan berat yang menimpa itu sesuatu yang baik, maka ia adalah sungguh-sungguh manusia terbaik”.

My cerpen


Gadis cantik itu bernama Alya

 

                Namaku Furqon. Seperti biasa selepas sholat subuh aku mengajar para santri di ponpes ini. Yach, ponpes yang sudah aku tempaati  selama 2 tahun terakhir ini memberiku banyak pelajaran tentang hidup. Masih teringat saat dulu Abah Yai memintaku untuk mengamalkan ilmu disini. Di ponpes al hidayah. Aku juga mengajar di salah satu lembaga pendidikan yang ada di pesantren tersebut, yaitu MTs Al.Huda.

                Jam sudah menunjukkan pukul 06.55, aku segera menuju kantor sekolah untuk mengambil buku-buku dan menuju kelas. Namun tiba-tiba pandanganku dikejutkan oleh seorang gadis yang sedang duduk bersama Diah bagian TU dikantor tersebut. Wajahnya yang cantik terbalut jilbab putih sehingga menambah keanggunannya. Sekilas dia melihat kedatanganku, namun kemudian kembali sibuk dengan buku yang dibacanya. Aku pun segera munuju meja kerjaku dan mengambil bukuku, karena aku harus segera mengajar. Pikiranku tidak tenang selama mengajar, entah kenapa, bayangan gadis itu selalu menggagguku, seolah tidak ingin membiarkanku konsen mengajar. Aku penasaran, siapakah dia? Staff baru, ataukah kerabat Diah???? Entahlah. Yang jelas, dia terlihat beda dari gadis-gadis yang pernah aku temui sebelumnya.

                Usai mengajar aku iseng sms Diah untuk menanyakan siapa gadis itu, pasti Diah tau.

“asslamualaikum Diah, wah kayaknya ada yang beda dipagi ini, puny atmen baru y? gk sndrian lagi dnk skrg?”. Godaku basa-basi ke Diah.

Satu menit kemudian hp ku bunyi ternyata balasan dari Diah. Akupun segera membukanya.

“waalaikumslam, eh iya pak. Dia Ning Alya Syahida. Baru pulang dari ponpes Darussalam, diminta Abah Yai untuk bantu mengajar disni.”

                Alya. Ternyata namanya Alya. Nama yang indah, seindah orangnya. Alya memang sangat cantik, siapapun akan tertarik jika melihatnya. Aku ingin bisa mengenalnya lebih jauh.

                Siang itu cuaca sangat panas, aku lirik jam tanganku ternyata sudah pukul 12.00 siang. Waktunya para murid dan santri untuk sholat berjama’ah. Akupun segera menuju kantor untuk merapikan buku-bukuku dan kembali ke asrama, namun ternyata dikantor ada Alya, rasa panas yang aku rasakan saat itu akibat cuaca mendadak hilang seketika. Dia ibarat oasis yang berada dipadang pasir, yang bisa menyejukkan orang yang kehausan. Hehehe

                “neng Alya kok sendirian, Diah kemana?”. Sapaku basa-basi. Dia yang saat itu sedang asyik membaca buku langsung kaget dan menoleh kepadaku karena merasa namanya aku panggil.

                “oh, eh iya pak. Diah sedang diruang administrasi. Ada yang bisa saya bantu?.” Tanyanya kepadaku.

                “oh tidak neng, justru saya minta maaf karena sudah mengganggu neng Alya membaca,.”

                “tidak apa-apa pak, cuman kaget aja. “. Kemudian dia tersenyum.

                “oh iya, darimana anda tahu nama saya Alya?’’. Selidik dia kepadaku. Aku langsung gugup bagamana aku menjawabnya. Namun aku segera bisa mengatasi rasa gugupku.

                “hmmmm,,,siapa di lembaga ini yang tidak mengenal gadis secantik eneng, mesikipun baru datang, neng Alya sudah banyak dibicarakan oleh para murid dan guru disini. Jadi saya tau nama eneng dari mereka.” Terpaksa aku berbohong untuk sedikit jaim, karena aku tidak ingin neng Alya tau bahwa aku tau namanya dari Diah. Gengsi donk. Hehehehe. Tapi memang kehadirannya menjadi perbincangan hangat di lingkungan pondok dan madrasah. Semua orang sedang membicarakan kecantikannya, dari situlah aku tau bahwa selain cantik, neng Alya adalah seorang Hafidzah. Dan dia juga masih kerabat dengan keluarga Abah Yai. Pimpinan pondok. Sungguh dia gadis yang sempurna baik akhlaqnya maupun zahirnya. Dalam hati aku berkata bahwa beruntung kelak lelaki yang bisa menikahinya.

                “hey, kok melamun? Gombal ach, pasti mereka membicarakan kejelekan saya  y?, hmmm dosa lo pak”.

                “nggak lah neng, mereka membicarakan yang baik kok. Panggil saya bang furqon saja, jangan pak. Saya kan belum tua.” Candaku yang ternyata membuatnya tersenyum kepadaku, senyumnya membuatku semakin kagum kepadanya. Penampilannya sederhana, namun tetap tidak bisa menyembunyikan wajah cantiknya. Benar-benar gadis yang luar biasa. Tak henti-hentinya aku bertasbih kepadaNya dan memuji keindahan ciptaanNya. Bahwa Allah telah menciptakan gadis sesempurna neng Alya.

                Tak terasa sudah pukul 13.00, kami mengobrol kurang lebih satu jam, memang benar kata pepatah, “satu jam tidak akan berarti apa-apa bagi mereka yang sedang jatuh cinta”. Pepatah darimana itu aku juga tidak tau. Hehehe.

                “ya udh bang, saya pamit dulu. Mau kembali. Takut Abah ntar nyariin, sekalian mau sholat. Bang Furqon belum sholat juga kan?, sholat dulu, tidak baik menunda-nunda waktu sholat. Oh iya, trimakasih udah menjadi teman baru saya”.

                “iya neng, sama-sama. Saya juga senang bisa mengenal neng Alya.” Alya hanya tersenyum lalu beranjak pergi meningglkanku yang masih duduk di meja kerjaku, aku masih menatap kepergiannya sampai hilang dibalik pintu kantor. Pertemuan dan perkenalan yang sangat indah hari ini.

                Setelah pertemuan dengan neng Alya siang tadi, entah mengapa aku merasakan hal yang berbeda. Hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Selepas sholat isya dan mengajar para santri, aku termenung dalam kamarku. Mengingat kembali saat bertemu neng Alya siag tadi. Kemudian aku ambil bolpoin dan kertas, mulailah aku menumpahkan seluruh kekagumanku padanya lewat tulisan puisiku.

Kau yang hadir dalam hidupku

                Kamu terlahir ke dunia dengan raut wajah yang sangat indah, tutur kata indah yang terlantur bagaikan mutiara, keindahan dan kelembutan hati membuat langkahmu memberikan kehidupan untuk orang-orang yang ada disekelilingmu, kamulah bidadari yang pernah aku temui dan kamulah anugerah terindah yang tuhan berikan saat ini…

Aku bukan tipe pria penebar gombal, namun kecantikan hati dan wajahmu adalah sebuah kenyataan yang memaksa lisan ku ini untuk terus berucap dan terus melantunkan kata-kata puisi pujian untukmu…

Kata katamu yang indah membuat dirimu terlihat begitu sempurna dan membuat kekurangan fisikmu sirna berganti dengan kecantikan yang tidak bisa di ungkapkan melalui kata-kata tentang cinta…

Ketaatanmu kepada Tuhan, melebihi kecintaanmu pada diri sendiri, syariah selalu kau jalankan, hukum islam menjadi pedomanmu dan kau bagaikan mentari di pagi hari…

Kesabaran selalu memenuhi hari-harimu, bahasamu begitu indah dan sangat menawan, bening hati selalu warnai dirimu. kamulah sang wanita muslimah idaman ku…

Kamu bagaikan bersinar menerangi kehidupan, tutur katamu sangat lembut dan penuh arti, memberi makna untuk semua insan. Kepribadimu mencerminkan akhlakmu dan terlihat pancaran cahaya…

Kemudian kutup bukuku dan aku segera beranjak tidur. Agar nanti aku bisa bangun untuk menjalankan qiyamul lail.

            Malam itu terasa dingin, kulihat jam di dinding ternyata pukul 02.30 dini hari. Kemudian aku bangun untuk menuju kamar mandi untuk berwudhu. Air wudhu yang dingin terasa menusuk pori-poriku, dan sejuk. Setelah itu ku gelar sajadah dan mulai kulksanakan qiyamul lail. Sungguh terasa tenang saat hati ini menghadap sang kuasa. Segala keluh kesahku, aku munajatkan kepada Rabb-ku. Seperti halnya malam ini, setelah berdzikir aku bermunajat, kuserahkan segala hidupku hanya untuknya. Juga kegelisahan hatiku terhadap gadis yang sholihah Alya yang baru aku kenal. Angin malam yang dingin dan sejuk, membuatku semakin khusyuk dalam berdo’a.

 

Diatas Sajadah malam ini aku tertunduk pada gelap dan pekatnya malam,

meraba rahsia Mu Ya Allah atas jodoh yang kan kau pilihkan untukku

istikarah mencari jawapan untuk menggapai alhub fillah wa lillah

dalam doa ku bersimpuh pasrah

memohon datangnya jawapan kepada Sang Pemberi hidayah

bila jawapan itu masih menggantung di langit

maka turunkanlah

bila jawapan itu masih terpendam di perut bumi

maka keluarkanlah

bila jawapan itu sulit ku raih

maka mudahkanlah

bila jawapan itu masih jauh

maka dekatkanlah

 

Duhai kekasih sejati, Engkau Maha cahaya, Engkau Cahaya di atas Cahaya.

Dalam kerinduan mendalam, dalam tatih meniti Pintu Cahaya,

Aku di sini, bersimpuh untuk menjemput CINTA,

Cinta Seseorang Yang telah kau pilihkan semoga kan abadi di dunia dan Akhirat

 

“Ya Allah, Tuhan yang Maha Memiliki Rahsia, Tuhan yang Maha memegang kasih sayang seluruh jiwa kami, Tuhan yang Maha Penentu, Tuhan yang Maha Menyatukan jiwa-jiwa kami, ya Allah, aku merupakan hamba yang lemah, hamba yang tidak mampu mengawal diriku daripada fitrah seorang manusia yang memerlukan teman, memerlukan kekasih, memerlukan suami/isteri, memerlukan keluarga. 

Ya Allah aku tidak mampu menahan diriku daripada terjeremus ke dalam kemaksiatan. Ya Allah, jika masanya telah tiba, jika apa yang aku mohon ini merupakan sesuatu yang terbaik disisiMu Ya Allah, terbaik buat agamaku Ya Allah, terbaik buat diriku, keluarga dan seluruh mukminin dan mukminat Ya Allah, maka aku memohon kepadaMu YaAllah agar aku ditemukan dengan jodoh yang terbaik di sisiMu Ya Allah. Setiap yang terbaik di sisiMu Ya Allah, pasti terbaik buat diriku Ya Allah. 

Namun Ya Allah, jika masanya untuk dipertemukan dengan jodohku belum tiba YaAllah, maka Ya Allah, aku memohon kepadaMu agar Kau tunjukkan jalan-jalan untuk aku memiliki jodohku Ya Allah. Aku memohon agar Kau tunjukkan aku tuntutun-tuntutanMu yang perlu aku lakukan untuk memiliki jodohku Ya Allah. Ya Allah, Tuhan yang Maha Memakbulkan doa, Tuhan yang Maha Penentu jodoh, Ya Allah jauhilah aku daripada kemaksiatan, jauhilah aku daripada perkara-perkara yang tidak dapat memberikan manfaat, jauhilah aku daripada perkara-perkara yang Engkau murkai dan perkara-perkara yang menyesatkan diriku Ya Allah. Amin.

Setelah berdoa, kuambil mushafku. Kubaca satu persatu ayat, hingga waktu subuh datang.

Waktu pun terus berlalu, tak terasa semenjak pertemuan dengan neng Alya 2 minggu lalu, semenjak itu aku tidak pernah lagi melihat wajahnya. Kemanakah dia? Sakit, ataukah sudah tidak berada di pondok ini lagi? Hatiku bercampur aduk, ingin rasanya aku menyanyakan kepada Diah, pasti dia tahu. Tapi aku urungkan. Hingga suatu hari tanpa sengaja aku mendengar bahwa orang-orang kantor membicarakan neng Alya. Bahwa kata mereka Neng Alya melanjutkan study di Cairo. Aku yang belum percaya akan kepergiannya, segera menanyakan ke Diah. Diah waktu itu sedang sibuk di depan computer. Lalu basa basi aku mengganggunya.

            “sendirian aja Diah, tumben aku lihat akhir-akhir ini kamu gak bareng neng Alya”. Diah lalu menjawab sambil sibuk menatap layar monitornya.

            “pak Furqon ini bagaimana sich, pak Furqon belum tau ya? Neng Alya kan sudah berangkat ke Cairo 2 minggu yang lalu. Aduhhhhh ketinggalan informasi y pak. Jadi saya sediri lagi.

            Kata-kata Diah sudah cukup menjadi penjelas untukku. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan dihati saat itu, aku hanya bisa pasrah. Mungkin belum saatnya Allah memberiku kepercayaan. Aku kembali dalam kesenderianku dan munajatku kepada Illahi Rabbi. Untuk tetap istiqomah dalam jalanNya. Hingga waktu yang tidak bisa ditentukan, kapan aku bisa bertemu dengannya lagi. Wallahu a’lam.

           

Biodata penulis

Nama : siti ihda husnul chotimah

Umur : 21 tahun