Selasa, 07 April 2015

Cerpis

SURAT TERAKHIR UNTUK KAKAK

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”

Sejenak ku hentikan bacaanku, begitu makna Al-Baqarah ayat 216 aku pernah mendengarnya, rupanya orang mengutipnya dari sini, sebagai pengobat saat ku harus mengakui satu hal yang membuatku membenci keadaan ini.

Aku menutup Al-Qur’anku tanpa menyelesaikan sampai maqro, tanpa Shadaqallah untuk mengakhirinya. Rasanya lidahku tak bisa membaca kalam Illahi itu dengan benar, percuma tak ada lagi teguran saat aku salah melafalkan tajwid maupun makhraj. Semua tak lagi kudapat semenjak orang itu diam dan tak bergerak sama sekali.

Katanya aku terlalu dini untuk mengerti semua ini, usia 12 tahun terlalu kecil untuk memahami yang sedang terjadi. Orang dewasa mana yang mengerti perasaanku bahwa aku sangat takut.

“Mifa, udah ngajinya?” aku menengadah setelah membenamkan wajahku di samping orang yang saat ini masih tetap istiqomah dengan tidur panjangnya, aku menatap wanita yang berdiri dekat tempat dudukku, lalu kembali menatap orang itu yang wajahnya terhalang oleh ETT yang menerobos tenggorokannya, padahal jika tak ada alat itu ia begitu tampan.
“Makan dulu ya, Ayah nunggu di kantin, biar kakak bunda yang jaga” bujuknya sambil mengelus kepalaku yang terbalut kerudung biru tua, warna favorit kakak.
Aku mengangguk pelan dan meletakkan Al-Qur’anku di atas meja, berat kakiku meninggalkan ruangan itu, ruangan dingin yang seminggu ini menjadi rumah kedua kami.

***

Azam, begitulah orang memanggilnya, ia akan protes bila aku memanggilnya kazam, kak Azam, itulah maksudku.

Jika orang bercerita tentang pacarnya, ayah atau bundanya, maka aku ingin menceritakan tentang kakakku, kakak juara satu yang kumiliki, kakak terhebat yang kuteriakan namanya agar semua tau, tak ada yang kubanggakan selain dia.
“Kehidupan ini seperti ikhfa, samar. Nikmat yang Allah limpahkan itu seperti Idzhar, jelas”
“Jadi hukum nun mati bertemu fa itu apa? Ikhfa atau Idzhar?”
“Huruf Ikhfa ada berapa, lima belas” kak Azam belum kasih tau semuanya
“Kalau Idzhar, kakak udah kasih tau, kan, apa Fa termasuk di dalamnya?”
“Tidak”
“Nah, sekarang kau tentu tau jawabannya, satu lagi yang mesti dibiasakan, panggil kakak aja, ga usah pake nama ga sopan”

Baru setahun ini kak Azam mengajarku, yang saat itu aku baru menamatkan iqro enam, saat itu ia masih terlihat baik-baik saja meski tubuhnya terlihat semakin kurus, aku tak tau apa yang terjadi, setauku kak Azam pulang dari pesantren karena sudah selesai Tsanawiyyah dan akan melanjutkan ke Aliyyah di pesantren yang berbeda.

Awalnya aku mengiyakan, karena alasan cukup berlogika, namun hampir sebulan pasca tahun ajaran baru, kak Azam belum mengurusi pendaftaran ke Aliyyah manapun dan tak ada tanda akan kembali ke ponpes, aku mulai curiga, hingga akhirnya tau semua yang disembunyikan.
“Emang Mifa gak ingin ya, kakak tetap dirumah?” tanyanya saat aku bertanya kenapa belum kembali kepesantren
“Yee, nggak kak, malah Mifa seneng, kan kakak bisa ngajarin Mifa sampai khatam” jawabku sambil memperhatikan kak Azam yang sibuk dengan notebooknya.
“Mifa tau ga siapa yang menghidupkan kita” tanyanya.
“Allah..!” jawabku enteng.
“Kalau begitu, Allah juga yang mematikan kita, nah kalo urusan mati, mau kakak dulu atau Mifa dulu?”
Sejenak aku diam dan berfikir “Yang tua dulu dong kak, haha” candaku.
Kak Azam tertawa pelan “Kalo benar kakak mati duluan, Mifa jangan nangis ya, kan Mifa sendiri yang minta, hehe!”
“Yee pede, sayang tau air mata Mifa kalau hanya untuk nangisin kakak” celetukku, padahal aku begitu takut jauh darinya, jangankan untuk mati, waktu dia di pesantren saja, aku suka nangis sendiri ngangenin dia.

Tidak adakah kata yang lebih sederhana untuk mengganti nama penyakit kanker atau karsinoma nasofaring lebih tepatnya, sehingga musibah ini tak perlu seperti kisah novel atau sinetron, hingga tak membuatku berdiri di puncak ketakutan yang maha tinggi, tidak adakah pilihan lain, Yaa Allah..?

Bagiku kak Azam begitu istimewa, sehingga Engkau perintahkan sel-sel jahat itu bersarang di belakang rongga hidungnya, bahkan kini telah menyebar pada organ tubuh lainnya, dan dengan mudah Engkau mengambilnya dari sisi kami. Tidak adakah cara yang lebih halus untuk ia memenuhi panggilan-Mu Yaa Allah..?

Aku tak suka kakak ku melawan penyakit itu hingga ia menitikan air mata menahan sakit yang membabi buta ketika radioterapi menyebabkan beberapa komplikasi. Aku tidak suka wajah tampannya terenggut akibat pembengkakan pada leher hingga wajah, apalagi suara indahnya yang ikut terampas, suara indah yang hanya dia yang punya, yang mengantarnya menjadi Qori internasional 3 tahun lalu, suara indah yang kudengar ba’da magrib dan subuh di balik pintu itu.

Bagaimana bisa Yaa Allah, Kau buat orang sebaik dia menderita seperti itu bahkan masih bisa mengatakan apa yang ia terima adalah sesuatu yang baik.

“Bagi orang-orang beriman, segala keadaan tetap akan menjadi kebaikan, Rasulullah bersabda seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu menjadi baik baginya, jika ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan itu baik baginya, jika ia tertimpa kesusahan ia bersabar dan itu baik baginya” katanya saat aku menangis di samping pembaringannya, suaranya yang pelan dan parau membuat tangisku semakin hebat.

“Katanya Allah itu maha adil, tapi kenapa Dia memberikan penyakit itu pada kakak, kakak kan rajin sholat, puasa sunnat dan rajin baca Al-Qur’an juga bahkan hampir hafal semuanya, kenapa gak orang jahat aja yang punya penyakit itu?”
“Kakak juga rajin marahin kamu” ia tertawa pelan sambil mengelus rambutku yang tergerai, mata cekungnya yang mulai mengabur menatapku.
“Mifa rela dimarahin terus, asal kakak tetap bersama Mifa”.

Ia tersenyum merengkuhku hangat meski tubuhnya begitu dingin. “Allah sayang kakak, Mifa juga Bunda dan Ayah, Dia yang berkuasa atas hidup mati kita, terserah Dia mau apakan kita, tinggal kita menerima dengan ikhlas”

Ia sungguh dewasa, 3 tahun jauh dari Ayah Bunda membuatnya menjadi pribadi yang bijak, usianya 16 tahun tapi pemikirannya jauh dari anak-anak di atasnya.

“Mifa, kenapa makanannya dibiarkan begitu?” aku terhenyak menatap ayah yang sudah kembali dari sholat Isya, wajahnya mirip kak Azam, aku tau lelaki tua itu lebih takut kehilangan puteranya, tapi setidaknya ia sudah menghabiskan banyak waktu bersama kak Azam, sementara aku baru setahun bisa dekat dengannya, Ahh setidaknya Allah memberi kesempatan.
“Ayah tau ga, kenapa Mifa ga ingin ke pesantren seperti kak Azam” ayah diam menungguku menjawab sendiri pertanyaan itu.
“Karena Mifa ingin selalu bersama ayah bunda, tapi kak Azam mengajarkan satu hal, semakin jauh jarak anak dan orang tua, semakin dekat batin keduanya, lulus SD nanti Mifa ingin ke pesantren, yah..!”
Ayah mencium puncak kepalaku, aku menangis dalam pelukannya.

Aku, Ayah dan Bunda berdiri di samping kak Azam yang telah membuka mata, bahagia bukan buatan saat Bunda memberitahu bahwa kak Azam sudah sadar dari koma, ia tersenyum tipis padaku, ia sudah tak bisa bicara lagi penyakit itu telah merusak pita suaranya yang indah, yang dibanggakan semua orang saat suara itu menggemakan kalam-kalam Illahi.
“Kok aneh ya, suara kak Azam indah?”
“Karena nama kakak Azam, makanya suaranya sebening air zamzam, jadi jangan panggil kakak dengan nama jelek itu lagi..!” bangganya sambil melempar bantal ke arahku.
Aku cemberut “Mentang-mentang udah terkenal, aku do’ain suaranya jadi jelek kayak bebek”.
Tadinya aku hanya bercanda, tapi ternyata bagi Allah itu benar-benar do’a, aku sedih, menyesal seharusnya aku tidak bermain-main dengan lisanku.

“Apa kak, kakak ingin bicara apa?” tanya bunda melihat bibir kak Azam bergerak kecil.
Kak Azam menatapku lalu melirik al-Qur’an di atas meja. Aku tau maksudnya, segera aku meraihnya dan duduk di kursi hati-hati ku buka surah al-Mulk, surah favorit kak Azam yang seminggu ini kucoba hafalkan, aku ingin seperti dia yang hafal surah-surah selain juz ‘amma.

Aku memulai, ayah diam menyimak, bunda mendekap kak Azam yang menatapku serius. Keadaan sunyi, hanya suaraku yang menjadi pengiring malam ini. Mengundang seseorang masuk dan makin banyak yang mengikuti, aku tak tau siapa itu, kehadirannya menghangatkan ruangan ini, mereka menyaksikan adegan mengharu biru ini.

“ma..hh.a..sih” ujarnya sangat pelan begitu aku selesai membaca kalam Allah itu. Aku perhatikan wajahnya diguyur keringat dingin bercampur debit darah yang deras meluncur dari dalam hidungnya, sederas air mataku yang tanpa kusadar sudah berlompatan dari kelopak mataku, napasnya memberat dan tubuhnya melemas, ia kembali tidur, tapi bukan untuk bangun kembali.

Ibu menangis ketika ayah mengucapkan “Innalillahi wainnailaihiroji’un” kalimat itu bagai hantaman batu-batu ababil, tapi air mata ini tak bisa mengubah ketentuan-Mu Yaa Allah, aku pernah bilang tidak akan menangis jika dia Engkau panggil, tapi aku tak bisa melakukan itu.

“Tahukah kau, Mifa, saat kau baca kalam Illahi itu, para malaikat berjalan di belakang Izroil, membacakan doa buat kakakmu, menjemputnya menuju kebahagiaan yang sebenarnya, sungguh orang yang menganggap cobaan berat yang menimpa itu sesuatu yang baik, maka ia adalah sungguh-sungguh manusia terbaik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar